Belum
setahun saya menjadi Jakarta’s Woman Rider, sebutan bagi perempuan-perempuan
yang mengendari kendaraan bermotor di hiruk-pikuknya kota Jakarta. Awalnya,
saya seorang idealis di jalanan, tidak menerobos lampu merah, tidak memakai
jalur bus transjakarta, berhenti di belakang garis, bahkan saat saya bersepeda pun,
saya menjaga idealisme saya.
Namun,
tanpa saya sadari, idealisme yang saya jaga tergerus oleh budaya, budaya
berkendara yang bertahun-tahun terbentuk oleh para pengendara yang egois,
kekecewaan kita atas sistem yang telah ada, dan aparat yang tidak tegas. Saya pun
ikut terjerumus ke dalam budaya yang tercipta di masyarakat; menggunakan jalur
bus transjakarta, mulai berhenti melewati garis, menerobos, naik ke trotoar,
dan lain-lain.
Sampai
suatu saat, saya tersadar lagi, mendapatkan turned-on moment. Saya kembali ke idealism
saya. Bahwa sistem yang telah dibuat tidak akan berhasil bila pengguna sistem
tidak mau menjalankan sistem yang ada.
Banyak
kelakuan warga kota ini yg seringkali membuat saya geram di jalanan. Ketika melihat orang, terlebih lagi seorang
bapak atau ibu, yang mengendarai motor dengan tidak menggunakan helm, sedang
memboncengi anak-anaknya yang juga tidak dipakaikan helm. Bagian terakhir ini
yang lebih membuat saya kesal. Apakah para orang tua itu tidak sayang anaknya?
Tidak takut anaknya kenapa-napa? Tidak sayang dirinya? Mungkin, mereka baru
akan tahu rasanya kalau para orang tua yang memboncengi anaknya mengalami
kecelakaan. Dan, sebagai penumpang yang lebih tidak siap dengan kemungkinan
terburuk, si penumpang- anaknya- biasanya mendapatkan luka yang lebih parah.
Bisa luka, patah, lalu cacat, atau yang paling buruk, yaitu hilangnya nyawa.
Ah, bukan saya menakut-nakuti atau mendoakan hal yang buruk, tapi sungguh saya
ingin menyadarkan para orang tua atau pembaca, bahwa nyawa bisa hilang kapan
saja. Tapi, kita sebagai manusia, yang diberikan titipan dari Yang Maha
Memberi, harus menjaganya.
Kedua,
berhenti melewati garis saat lampu merah, ini juga sering terjadi. Sudah
dianggap biasa. Sampai-sampai, saya yang lebih memilih berhenti di belakang garis
malah sering dicibir, diteriaki, dimarahi. Apakah sudah hancur benar negeri
ini? Yang benar malah disalahkan.
Setiap
orang ingin cepat, mereka maju bukan hanya melewati garis, tapi melewati
zebra-cross, maju sampai depan. Majuuu sekali. Seringkali saya lihat
orang-orang berbuat seperti ini. Kalau satu sudah maju, yang lain mengikuti. Rasionalisasi
menular. Tahu apa yang terjadi? Segerombolan pengendara malah menghambat jalan
pengedara lain dari arah yang berlawanan, menyebabkan kekacauan yang saling
mengunci, macet dimana-mana.
Memang
benar sekali apa yang pernah ibu saya katakan pada saya. “Kalau kamu
menyusahkan orang lain, kamu pasti juga akan susah”. Buktinya adalah yang baru
saja saya ungkapkan.
Saya
jadi berpikir bahwa sumber kemacetan di Jakarta raya ini sebenarnya bersumber
dari egoisme yang ada dalam diri para pengendara, yang maunya menang sendiri,
yang menyulitkan orang lain, yang pada akhirnya, seperti boomerang, kesulitan
itu akan kembali kepada kita. Tak dapat dipungkiri bahwa ada andil pemerintah dalam
keporak-porandakan sistem transportasi di kota ini, baik pemerintah pusat, pemda
DKI, kepolisian..tapi, coba lihat kedalam. Mungkin sebenarnya anda adalah
penyumbang kekacauan transportasi terbesar di kota megapolitan ini, menciptakan
budaya berkendara, dan menjadi budak atas budaya yang anda ciptakan sendiri.