Sabtu, 25 Februari 2012

i love you, om :)


Gak terasa, satu tahun lebih sudah saya lewati bersama orang yang sama. Yah, walaupun saat ini kami tidak tinggal di kota yang sama, semoga suatu saat nanti kami bisa selalu bersama. :)

      Sore itu, hari ke sebelas bulan sepuluh pukul tiga sore lewat…(aah, entah saya tidak ingat). Saya beranjak dari kasur empuk berisikan kapuk, membiarkan laptop menyala di atasnya, dan memilih bergegas untuk menyiapkan segala hal untuk wisuda saya besok.
      Tiba-tiba perhatian saya teralihkan. Pluk! Ada peringatan dari laman media sosial yang sedang saya aktifkan. Bukumuka, mereka menyebutnya begitu. (Aaah, biar sajalah. Saya harus cepat-cepat mengemas barang jika tidak mau mendengar kicauan cerewet si mamah).
      Pluk! Ada sebuah peringatan lagi. Kali ini saya penasaran. Saya lihat laman Bukumuka. Ada dua peringatan. “Farchan Noor Rachman accepted your friend request. Farchan Noor Rachman writes on your wall”. (Who’s Farchan Noor Rachman? Hmm, paling paling salah banyak orang yang terlihat seperti anak stan atau mempunyai mutual friend yang banyak yang saya add sembarangan. Hehe)
      “Let me guess. Adik kelas di stan, anak akun. Suka gabung sama anak basket, trus pas kuliah sering banget pake sepatu converse”, sapa dia di dinding saya. “Aaah, dia salah orang. Saya bukan anak basket, bukan pula penggemar basket. Mengapa dia pikir saya sering ngumpul sama anak-anak basket. Tapi, tebakan dia kalau saya sering pake converse itu benar. Darimana dia tau?”, pikir saya dalam hati.
      Saya membalas postingannya. Menyangkal sering berkumpul dengan anak basket dan membenarkan kalau saya sering pake converse hi-top. Kami berkenalan, perkenalan tipe standar. Menyebutkan nama, asal, dan kerja dimana. Yah, standar. Dan saya mengira dia akan sama seperti yang lain. Berkenalan lewat media social, bercerita. Dan kemudian berlalu begitu saja.
      Saya melihat foto profilnya. Dia tidak tampan, tidak pula punya badan atletis. Bahkan dengan perut buncitnya dan kumis brewoknya itu dia tampak seperti om om. Yaah, saya kemudian memanggil dia ‘om’. Om?haha. Padahal, umur kami hanya terpaut dua tahun. Tapi, sepertinya dia memang pantas dipanggil om. Hihi.
      Mungkin pepatah “Don’t judge a book by its cover” itu ada benarnya. Jelas saja, dengan penampilan dia dgn kumis dan brewoknya itu dia tampak menyeramkan bagi saya. *Oops* Tapi, ternyata dia pintar melucu. Kami ‘mengobrol’ tiap malam. Dan tiap malam itu juga dia berhasil membuat saya tertawa.
      Semenjak itu, malam saya akan terasa kurang bila tidak berbagi cerita dengannya. Bahkan, bila dia sedang tidak aktif di dunia maya, saya ‘menunggunya’. hehe. Saya sudah seperti orang gila. Malam-malam, melototi laptop, menari-narikan jari di atas tuts tuts huruf, kemudian tertawa sendiri. Dia seorang yang cerdas dan kami sering bertukar pendapat tentang banyak hal dari hal yang paliiing gak penting sampai hal yang berbau urusan Negara.
      Bercerita dengan orang yang berbeda domisili tidak membuat saya khawatir. Justru, dengan begini, tidak akan ada ceritanya kalau suatu saat dia mengajak saya bertemu atau pergi keluar. :D
      Suatu ketika dia bertanya. Bertanya apakah dia boleh menelpon saya?. *tepok jidat* Awalnya, yah saya enggan. Sebenarnya, saya tidak mau terlalu jauh dalam hubungan pertemanan jarak-jauh ini. *Eh, bukan pertemanan tapi om dan keponakan.* Tapi, akhirnya saya mengiyakan. Dan untuk pertama kalinya, saya mendengar suaranya dalam perjalanan saya dari Jakarta menuju Bandung.
      Canggung. Iyah, jelas saya canggung. Mungkin dia juga sama canggungnya seperti saya. Saya berusaha menutupinya dengan tawa dan mulai mengejeknya dengan panggilan om. Om, …. Om,……..om, …….. dan kemudian akhirnya saya berhenti memanggil dia om saat sadar bahwa seluruh penumpang di travel yang saya tumpangi mendengar obrolan kami dan melirik pada saya. Entah apa yang dipikirkan para penumpang lainnya pada waktu itu. U__U! *maluu*
      Semenjak itu, kami intens berkomunikasi. Sms. Telpon. Ngobrol lewat Bukumuka. Atau saling balas mengicau di Pengicau. Saya dan dia mungkin sama-sama merasakan apa yang disebut chemistry. Belum pernah sekalipun bertemu, tapi kami merasa nyaman satu sama lain. 
      Sudah lebih dari sebulan hubungan per-om dan keponakan-an ini berjalan. Dia sering bilang kalau suatu saat dia akan ke Jakarta. (waktu itu saya sudah pindah ke Jakarta). Dan benar, hari itu dia membuktikan omongannya. Dia datang ke Jakarta, setelah menghadiri pernikahan temannya di Medan. Dia menunggu di depan kantor saya, menunggu saya pulang kantor.
      Saya melihat dia dari kejauhan dan berusaha untuk tetap santai. *inhale, exhale* Dia tampak lebih besar dari fotonya. Itu hal pertama yang terbesit dalam pikiran saya. Haha. Dia memakai jeans warna biru yang hampir pudar dan kemeja flannel warna biru tua. Membawa tas ransel besar dan sekardus oleh-oleh dari medan. Namun, dia tetap selaras dengan penampilannya.
      Rambut, kumis, dan brewoknya dia cukur. Rapi. Dewasa. Begitulah first impression saya tentang dia. Dan sekali lagi, dia lebih besar dibanding fotonya. Haha. Dia terlihat grogi ketika itu. Keringat tak berhenti mengucur dari kepalanya. Saya? Berusaha tetap tenang dan tidak canggung. Mungkin, saat itu baru saya sadari bahwa bakat terpendam saya adalah acting. Haha.
       Dia mengajak saya makan malam di restoran yang ada di atap sebuah plaza. Kami makan malam, dengan lampu temaram dan lilin. Tempat yang bagus, makanan yang enak, suasana yang nyaman, dan angin malam yang menyamarkan suara tawa kami. Tapi, saya sungguh tidak menikmati saat itu. Saya hanya ingin pulang. Saya ingin semua ini berakhir. Saya....canggung.
      Makan malam selesai. Saya bernapas lega dan berpikir sebentar lagi saya akan pulang. Tapi, tunggu. Kini, dia mengajak saya berkaraoke di salah satu family karaoke terkenal yang dikelola oleh artis dangdut sexy nan bohai.
      Dua jam kami bernyanyi, tapi tak ada satu pun di antara kami yang memandang atau sedikitpun menggoyangkan badan. Yah, kami berdua hanya duduk bersampingan dengan jarak yang agak jauh dan menyanyikan lagu yang masing-masing kami pilih.
      Dua jam telah usai. Yah, saatnya pulang. Saya kembali merasa lega. Saat itu, jam 11 malam hampir tengah malam. Plaza sudah sepi. Hampir semua gerai di plaza itu sudah ditutup. Beberapa lampu juga sudah dimatikan. Kami turun ke lantai dasar dengan lift. Hanya ada kami berdua di lift itu. Dan di dalam lift sepi itu dia bertanya, “put, mau jadi ceweku gak?”. Suaranya terdengar agak ragu-ragu waktu itu. 
     Saya berpura-pura kaget atas pertanyaannya. :p Saya tidak bodoh dan tidak mati rasa sampai-sampai saya tidak tahu maksud dan tujuannya datang ke Jakarta. Saya tidak pernah berharap dia menyatakan perasaannya, tapi dengan pertanyaan itu dan penyataan yang akan nanti saya sampaikan, maka hubungan ini akan menjadi jelas. 
      Dan saya hanya menjawab, “kalau liat sikapku selama ini sama om, harusnya om tau jawaban putri”. Yaah, jawaban yang membuat dia pusing dan membuat dia terus bertanya. Entah dia juga pura-pura tidak mengerti dengan pernyataan saya. Berkali-kali dia bertanya, tetapi saya hanya menjawab dengan pernyataan yang sama. Sampai kami naik taksi,dia masih belum mengerti maksud dari pernyataan saya. 
      Kini saya terdiam. Berpikir ulang, apakah saya akan merubah keputusan yang tadi telah saya ambil. Toh, dia juga belum mengerti maksud dari pernyataan saya tadi.
      Dan di dalam taksi itu, dengan supir taksi sebagai saksinya *halah, lebay*, saya menganggukan kepala saya dan tersenyum. Seketika, dia mengepalkan tangannya ke udara hampir saja melompat. Tapi, karena kami sedang di dalam taksi, dia urung melakukannya.*apa jadinya kalo dia jadi melompat kegirangan di dalam taksi.*hihi.

Itulah cerita yang tidak pernah habis kami bahas ketika mengingat awal-awal perkenalan kami. Hanya karena saya sering meng-add orang asal-asalan, kemudian kami berkenalan, wall-wall-an, chatting, sms-an, telpon-an, sampai akhirnya dia datang ke Jakarta untuk bertemu saya pertama kalinya dan di hari  itu pula kami menjadi sepasang kekasih. Yaah, God works in mysterious way. 

and
i love you, om. :)












4 komentar:

Nauval mengatakan...

*baca sambil senyum senyum sendiri*
Hahahahaha ceritanya mirip ih sama aku :P

kakaputri mengatakan...

ini ceritaku. bagaimana ceritamu? :D

alhamdulilla pang, kami dipertemukan saat berjauhan. agar menghargai artinya pertemuan. halah. haha

tianidhan mengatakan...

entah kenapa pas baca aku cuma senyum2 nahan ketawa.. kalo lagi ga di kantor aja nih aku bakal ketawa kenceng2.. nice share put! love it! ^^

kakaputri mengatakan...

wahahha. ini kamu yah caa..
*maluu*