Jumat, 15 Februari 2013

Buda(k)ya Jakarta Raya



Belum setahun saya menjadi Jakarta’s Woman Rider, sebutan bagi perempuan-perempuan yang mengendari kendaraan bermotor di hiruk-pikuknya kota Jakarta. Awalnya, saya seorang idealis di jalanan, tidak menerobos lampu merah, tidak memakai jalur bus transjakarta, berhenti di belakang garis, bahkan saat saya bersepeda pun, saya menjaga idealisme saya.
Namun, tanpa saya sadari, idealisme yang saya jaga tergerus oleh budaya, budaya berkendara yang bertahun-tahun terbentuk oleh para pengendara yang egois, kekecewaan kita atas sistem yang telah ada, dan aparat yang tidak tegas. Saya pun ikut terjerumus ke dalam budaya yang tercipta di masyarakat; menggunakan jalur bus transjakarta, mulai berhenti melewati garis, menerobos, naik ke trotoar, dan lain-lain.
Sampai suatu saat, saya tersadar lagi, mendapatkan turned-on moment. Saya kembali ke idealism saya. Bahwa sistem yang telah dibuat tidak akan berhasil bila pengguna sistem tidak mau menjalankan sistem yang ada.  
Banyak kelakuan warga kota ini yg seringkali membuat saya geram di jalanan.  Ketika melihat orang, terlebih lagi seorang bapak atau ibu, yang mengendarai motor dengan tidak menggunakan helm, sedang memboncengi anak-anaknya yang juga tidak dipakaikan helm. Bagian terakhir ini yang lebih membuat saya kesal. Apakah para orang tua itu tidak sayang anaknya? Tidak takut anaknya kenapa-napa? Tidak sayang dirinya? Mungkin, mereka baru akan tahu rasanya kalau para orang tua yang memboncengi anaknya mengalami kecelakaan. Dan, sebagai penumpang yang lebih tidak siap dengan kemungkinan terburuk, si penumpang- anaknya- biasanya mendapatkan luka yang lebih parah. Bisa luka, patah, lalu cacat, atau yang paling buruk, yaitu hilangnya nyawa. Ah, bukan saya menakut-nakuti atau mendoakan hal yang buruk, tapi sungguh saya ingin menyadarkan para orang tua atau pembaca, bahwa nyawa bisa hilang kapan saja. Tapi, kita sebagai manusia, yang diberikan titipan dari Yang Maha Memberi, harus menjaganya.
Kedua, berhenti melewati garis saat lampu merah, ini juga sering terjadi. Sudah dianggap biasa. Sampai-sampai, saya yang lebih memilih berhenti di belakang garis malah sering dicibir, diteriaki, dimarahi. Apakah sudah hancur benar negeri ini? Yang benar malah disalahkan.
Setiap orang ingin cepat, mereka maju bukan hanya melewati garis, tapi melewati zebra-cross, maju sampai depan. Majuuu sekali. Seringkali saya lihat orang-orang berbuat seperti ini. Kalau satu sudah maju, yang lain mengikuti. Rasionalisasi menular. Tahu apa yang terjadi? Segerombolan pengendara malah menghambat jalan pengedara lain dari arah yang berlawanan, menyebabkan kekacauan yang saling mengunci, macet dimana-mana.
Memang benar sekali apa yang pernah ibu saya katakan pada saya. “Kalau kamu menyusahkan orang lain, kamu pasti juga akan susah”. Buktinya adalah yang baru saja saya ungkapkan.
Saya jadi berpikir bahwa sumber kemacetan di Jakarta raya ini sebenarnya bersumber dari egoisme yang ada dalam diri para pengendara, yang maunya menang sendiri, yang menyulitkan orang lain, yang pada akhirnya, seperti boomerang, kesulitan itu akan kembali kepada kita. Tak dapat dipungkiri bahwa ada andil pemerintah dalam keporak-porandakan sistem transportasi di kota ini, baik pemerintah pusat, pemda DKI, kepolisian..tapi, coba lihat kedalam. Mungkin sebenarnya anda adalah penyumbang kekacauan transportasi terbesar di kota megapolitan ini, menciptakan budaya berkendara, dan menjadi budak atas budaya yang anda ciptakan sendiri.  

1 komentar:

Anonim mengatakan...

The king casino no deposit bonus, free spins, bitcoin - CommunityKhabar
No deposit bonus, communitykhabar free spins, 바카라사이트 bitcoin. No deposits bonus. No withdrawals, bitcoin no 바카라 deposit bonuses, free spins, bitcoin, 10k 바카라 사이트 followers. 출장마사지