Malam semakin larut. Angin malam semakin dingin. Malam ini,
saya duduk sendiri di warung makan. Menyantap bubur ayam hangat yang lama
kelamaan mendingin, sedingin suasana di malam ini. Sendiri.
Seorang gadis kecil berambut panjang dengan kuncir kuda, gigi yang
besar, dan kulit yang menghitam.Gadis itu membawa beberapa barang dagangan,
mendekati saya.
"mbak, tisunya mbak?"
“gak, makasih dek..”, jawabsaya. Masih dingin.
Saya melanjutkan huapan yang
sempa ttertunda ketika mendapati tawaran gadis tersebut. Saya berpikir sejenak dan….berubah pikiran.
“dek, dek, bentar, satu tisu berapaan dek?”
“lima ribu mbak..”
“gak ah kalo gitu..”
“tiga ribu deh mbak..”
“oke. Satu yaah.. “
Saya mengeluarkan dua lembar dua ribuan dari dompet saya.
“ada kembali seribu gak dek?"
“ada mbak..”
Di tangannya, dia kepal satu lembar seribuan dan satu lembar dua ribuan sambil membawa beberapa dagangannya. Tak hanya menjual tisu,
ia juga menjual puzzle. Tapi, sepertinya baru satu tisu yang berhasil dia jual malam ini.
Tertegun hati saya. Hari sudah malam, namun gadis ini masih bercengkerama dengan keramaian jalanan untuk mencari ratus,
ribu rupiah. Juga, tak tampak gurat kelelahan maupun keterpaksaan di
wajahnya. Bila ada lomba semangat, pastilah saya kalah bila bertanding dengan gadis kecil ini.“sekolah gak dekk?”
“sekolah mbak..”
“kelas berapa?”
“kelas dua mbak..”
Yang juga membuat saya kagum adalah bahwa ia tidak meminta-minta.
Ia memilih untuk berjualan.
Menjemput rejekinya bukan dengan menengadahkan tangan ke atas, tapi dengan berusaha.
“Sekolah yang rajin yah deeek.., ini kaka tambahin..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar